Sejak dahulu kala, manusia berusaha melawan penyakit dengan bantuan obat-obatan. Apabila dahulu kita lebih banyak menggunakan bahan alami seperti ramuan herbal atau jamu, sekarang sebagian besar obat dibuat dari bahan sintetis oleh pabrik-pabrik farmasi. Bagaimana obat-obatan modern dikembangkan?
Pengembangan
Pengembangan obat baru dimulai dengan sebuah pertanyaan. Misalnya, zat apakah yang dapat memengaruhi proses suatu penyakit? Apakah zat ini ada dalam tubuh manusia? Dahulu hampir semua zat obat berasal dari tumbuhan atau binatang, sekarang kita dapat membuat sebagian besar zat obat di laboratorium. Penelitian pertama didasarkan pada teori, yang mungkin dilakukan dengan bantuan komputer. Setelah zat yang dibutuhkan itu ditemukan atau dikembangkan, sebuah periode panjang penelitian mengikuti.
Pada tahap pra-klinis, zat obat diujicobakan pada mikroorganisme atau binatang untuk melihat efek toksikologi dan farmakologinya. Setelah lolos dari syarat-syarat uji pra-klinis yang ketat, zat obat itu dapat maju ke uji-klinis yaitu penerapan pada manusia. Tahap pertama uji klinis adalah meneliti apakah zat obat itu berbahaya bagi manusia. Untuk mengetahuinya, obat akan diuji pada sukarelawan sehat. Pada tahap kedua, sekelompok kecil pasien yang menderita penyakit diberi obat tersebut. Ini adalah uji kemanjuran di mana para peneliti berharap bahwa obat akan memiliki efek pada kondisi mereka. Tahap ketiga adalah studi berskala besar di mana banyak pasien berpartisipasi. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok: satu kelompok menerima obat baru, kelompok kedua menerima obat standar yang telah diketahui kemanjurannya, dan kelompok ketiga menerima plasebo. Dengan penelitian ini, kita dapat menentukan kemanjuran obat dan efek-efek sampingnya sebagai dasar utama dalam penilaian risiko-manfaat dan menyediakan banyak informasi yang akan dijelaskan dalam label obat. Selanjutnya, studi non-intervensi dilakukan untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang risiko-manfaat jangka panjang dan penggunaan optimal selama perawatan klinis rutin. Percobaan ini sering melibatkan ratusan pasien dan dapat terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Rata-rata dibutuhkan belasan tahun sebelum obat baru diluncurkan ke pasar. Setiap saat, ada ribuan zat obat yang berada dalam proses penelitian. Sebagian besar mereka tidak akan sampai ke pasar karena tidak cukup manjur, berbahaya, atau memiliki terlalu banyak efek samping.
Obat paten
Obat yang lolos semua tahap pengujian harus didaftarkan ke Pemerintah sebelum mendapat izin untuk diedarkan. Investasi dalam penelitian dan pengembangan bertahun-tahun juga perlu dilindungi dengan paten. Oleh karena itu, produsen obat akan mendaftarkan hak patennya, yang biasanya berlaku selama 20 tahun. Selama masa paten tersebut, tidak boleh ada produsen lain yang meniru. Obat juga akan dijual dengan merk-merk dagang tertentu yang terdaftar untuk komersialisasi.
Obat generik
Obat generik adalah obat yang masa patennya telah berakhir. Produsen lain dapat meniru formulasi obat tersebut. Mereka tidak perlu melakukan uji klinis lagi karena manfaat dan risiko obat tersebut sudah diketahui. Mereka hanya perlu memastikan bahwa obat itu memiliki bahan dengan efek terapi dan penyerapan yang setara (bioekuivalen) dengan obat yang masa patennya habis. Oleh karena itu, obat generik bisa sangat murah karena tidak memerlukan banyak biaya penelitian dan pengembangan.
Obat generik di Indonesia terdiri dari dua jenis, yakni obat generik berlogo (tanpa merek) dan generik bermerek. Obat generik berlogo adalah obat generik yang dipasarkan dengan nama generik sebagai merek dagangnya. Misalnya paracetamol tetap dijual dengan nama paracetamol, yang membedakan antara satu produk dengan produk lainnya adalah logo perusahan yang memproduksinya. Obat generik bermerek adalah obat paten yang masa patennya sudah habis (eks paten) tetapi tetap diedarkan dengan nama dagang yang sama. Contohnya, paracetamol yang diedarkan dengan nama merek seperti Biogesic, Tempra, Sanmol, Panadol, dll.
SUMBER
0 komentar:
Post a Comment